Sajak Pablo Neruda

Written By Unknown on Kamis, 12 Januari 2012 | Kamis, Januari 12, 2012

BERSANDAR PADA SENJA

Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku
ke lautan matamu.

Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi
tangannya menggapai bagai orang lemas.

Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa
yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api.

Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh
pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu.

Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku
ke laut yang mengocak lautan matamu.

Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama
yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu.

Malam menunggang kuda bayangan
sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang.
Pablo Neruda (1904-1973), penyair Chile pemenang hadiah Nobel 1971
***

SEEKOR ANJING TELAH MATI

Anjingku telah mati, kukubur dia di kebun
disebelah mesin tua penuh karat

Suatu saat aku pun akan menemaninya di sana
tapi saat ini biar dia bersama mantel kusutnya
tabiat buruknya, dan hidungnya yang beringus
dan aku, si gila dunia yang tidak meyakini
apapun yang dijanjikan surga di angkasa pada
tiap yang berbelas kasih
Aku percaya, di surga para anjing
dimana anjingku akan menunggu kehadiranku
meriakkan hembusan serupa goyang ekor persahabatannya
aku yakin, aku tak akan pernah menginjakkan kaki di sana

Ah, aku takkan mengobral kesedihan di tanah ini
karena telah kehilangan seorang sahabat
yang tidak pernah kehilangan martabat
persahabatannya untukku, persis seperti landak
yang mempertahankan kerajaannya
persahatan sebiji bintang, jauh terpencil
tanpa sautan hadir keintiman, tanpa dilebih-lebihkan

Sama sekali dia tak pernah melompat ke atas pakaianku
dan menularkan kudisnya ke seluruh tubuhhku
dia juga sama sekali tak pernah menggosok-gosok ke lututku
layaknya anjing-anjing yang lain yang doyan bercinta
tidak, anjingku hanya menatapku lurus
hanya memberi perhatian yang kubutuhkan
perhatian yang wajib hadir
untuk membuat orang yang tak berguna sepertiku mengerti
bahwa menjadi seekor anjing telah membuang-buang waktunya

Dengan mata yang lebih jernih daripada milikku
dia akan tetap menatapku
dengan raut muka tertentu yang hanya dia perlihatkan padaku
semua hal manisnya dan kehidupan kusutnya
selalu berada di dekatku
tak pernah menyusahkanku dan tak pernah meminta apapun
Ah pada ekornya, berapa kali aku termakan cemburu
saat berjalan bersama di bibir pantai
di sepi musim dingin Isla nigra
saat burung-burung musim itu memenuhi angkasa
dan rambutku morat-marit dipermainkan dahsyat gelombang angin
anjing pengembaraku itu akan mendengus-dengus
dengan ekornya yang keemasan berdiri tegak
langgsung menantang semburan muka samudera

Riang, riang, riang
seperti satu-satunya anjing yang tahu mengecam kebahagiaan
tidak ada kata perpisahan untuk anjingku yang telah mati
dan kami, segera atau tidak kapanpun pernah berbaring
sebelah menyebelah
Jadi sekarang dia telah mati dan aku menguburkannya
dan hanya itu, hanya untuk itu dia hadir
 ***

KUTU ITU BEGITU MENARIK PERHATIAN

Kutu itu begitu menarik perhatian
maka kubiarkan ia menggigitku berjam-jam
mereka begitu sempurna, purba, sanskrit
mesin yang setuju untuk tidak pernah memohon terlebih dahulu

Mereka tidak menggigit untuk makan
mereka hanya menggigit sebagailompatan
mereka bak penari-penari ruang angkasa dengan
akrobat-akrobat halus sebuah sirkus paling lembut nan dalam
kubiarkan mereka mencongklang di kulit
merembeskan semua rahasia perasaannya
menghibur diri sendiri dengan darahku

Ah, seseorang harusnya mengenalkannya padaku
aku ingin mengenalnya lebih intim
aku ingin mengetahui apa yang dipercayainya
***
DONGENG PUTRI DUYUNG DAN PEMABUK

Semua laki-laki itu berada di dalam ruangan
saat dia masuk bertelanjang
Mereka semua telah mabuk: mereka mulai menyibak
baru-baru ini dia muncul dari bibir sungai tanpa tahu apapun
Seekor putri duyung yang tersesat jalan

Dari kilatan tubuhnya celaan segera meluap
kecabulan basah kuyup di payudaranya yang keemasan
ia tidak mengenal airmata jadi ia tak pernah mengusap air mata
ia tidak mengenal pakaian dia tak memilikinya
mereka menyelimutinya dengan sumbat-sumbat gabus hangus
dan puntung-puntung rokok
digelindingkan beriring derai tawa di lantai kedai

Dia sama sekali tidak berbicara, karena dia tak mengenal kata
matanya adalah warna cinta yang asing dingin
bibirnya bergerak, sunyi, dalam cahaya batu karang
dan tiba-tiba dia pergi keluar melalui pintu di sana
masuk ke dalam sungai yang menyucikannya
bersinar seperti pualam di musim hujan
tanpa menoleh dia terus berenang
berenang keketiadaan, menuju maut
***

KUCANDUI MULUTMU, SUARAMU, RAMBUTMU

Jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
jangan pernah pergi jauh, meski hanya untuk sehari
karena, karena aku tak tahu bagaimana mengucapkannya:
sehari adalah waktu yang begitu lama
dan aku akan menunggumu di stasiun yang melompong ini
ketika kereta-kereta tak lagi singgah disini, tertidur

Jangan tinggalkan aku, meski hanya satu jam, karena
sejak itu, tetes-tetes kecil kesedihan akan berpacu bersama
asap yang mengembara mencari rumah terseret hanyut
dalam diriku, mencekik hatiku yang sekarat
ah, barangkali siluetmu tak pernah larut di pantai
barangkali kelopak matamu tidak pernah berdenyar
di bentang jarak yang hampa
Jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun sayang
karena jika terjadi, kau akan terlanjur begitu jauh
aku akan mengembara, melantur di seluruh penjuru bumi
bertanya-tanya apakah kau akan kembali?
apakah kau akan meninggalkanku disini meregang mati?
***


TERSESAT DI HUTAN

Tersesat du hutan, kupatahkan reranting gelap dahan
yang meruapkan bisikan-bisikan di bibirku yang dahaga
mungkin itu suara tangisan hujan
pecah genta atau hati yang terajam kelam

Sesuatu yang terindera berasal dari langkah yang jauh
dalam dan rahasia, tersembunyi di dalam bumi
seperti teriakan yang teredam oleh gunungan musim gugur
oleh lembab dan kibas setengah terbuka kegelapan dedaun
terbangun dari mimpi hutan disana, kabut
bernyanyi di bawah lidahku, menghanyut wewangian
meruyap naik di alam bawah sadarku

Saat telah kutinggalkan di belakang, tiba-tiba akar-akar
menangis padaku, tanah yang telah hilang bersama masa kanak-kanakku
dan aku berhenti, terluka oleh harum pengembaraan
***

KAU HARUS DENGARKAN AKU

Aku bernyanyi mengembara
diantara batang-batang anggur

Eropa
dan dalam angin,
angin Asia.

Yang terbaik dari sepanjang usia manusia
dan dari kehidupan,
dari kehalusan bumi,
dan damai sejati
kuhimpun dalma perantauan hidupku.

Yang terbaik dari bumi yang satu
dan dari bumi yang lain
kupakukan pada bibirku
dengan laguku:
kebebasan angin,
kedamaian ditaman anggur.

Kadang-kadang manusia seperti
bermusuh-musuhan
tetapi malam itu selubung
bagi semua
dan cahya raja
menggugah kita;
cahya dunia

Dan ketika sampai aku dirumah-rumah
duduk mereka sekitar meja
kembali mereka dari kerja
dengan tangis atau tawa.

Semua sama.

Sekalian mata mencari
jalan cahaya.

Sekalian mulut menyanyi
lagu musimsemi.

Semua.
Maka itu aku
diantara batang-batang anggur
dan dalam angin
memilih
yang terbaik pada manusia.

Dan kau harus dengarkan aku.
Sumber: Harian Rakjat, 11 Desember 1954




Pablo Neruda
KEPADA SIQUIEROS, KETIKA BERPISAH

Kutinggalkan dikau pada tjahja Djenuari,
kau djantung kemerdekaan Kuba,
Ingat. Siqueiros, kutunggu dikau
dinegeriku, negeri gunungapi dan saldju.

Kulihat lukisanmu dipendjarakan,
seperti api dia akan meluluhkan belenggu.

Sedih aku oleh kebengisan perpisahan ini,
tapi seni dan negerimu tertjinta satu,

Mexico ikut terbui bersamamu.
 Sumber: Harian Rakjat, 19 Mei 1962
 ***

SONETA II

Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.
Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.

Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa

Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.
***

ODE BAGI PAKAIAN

Engkau, pakaian-pakaian yang
menanti setiap pagi, di atas kursi,
 
Engkau yang mengisi dirimu sendiri,
dengan kepongahanku, cinta kasihku,
harapanku, dan tentu dengan tubuhku.

Begitulah, setelah
bangkit dari lelap,
lalu kulepaskan air,
maka kumasuki lenganmu,
dan kakiku mencari di
lorong-lorong kakimu,
dan kemudian terangkul erat
dalam kesetiaan engkau yang tak berbatas
aku pun bangkit menjejaki rumput itu,
memasuki puisi,
meninjau ke saujana jendela,
ke semesta benda-benda,
para lelaki dan wanita-wanita,
seluruh tingkah dan segala pertarungan,
terus membentuk aku,
terus memaksaku menghadapi apapun
menggerakkan tanganku,
membelalakkan mataku,
mengangakan mulutku,

Dan wahai
pakaian-pakaian,
aku pun juga membentukmu,
memperlebar bagian sikumu,
merapikan benang jahitmu,
dan hidupmu pun mengembara,
hingga ke imaji hidupku.

Di angin
engkau kumal dan rantas
seperti engkaulah jiwaku,
di saat yang buruk,
engkau memagut erat
tulang-tulangku,
kosong, hingga malam,
kegelapan, kembali lelap
lalu datang mereka: hantu-hantu
sayapmu dan sayapku.

Kusangka,
kelak jika suatu hari
ada sebutir peluru
dari seorang musuh
akan membasahimu dengan darahku
lalu
engkau mati bersamaku.
 
Atau kelak di hari lainnya,
bukan dalam senyap
tapi begitu dramatik
dan sederhana,
engkau akan jatuh sakit,
wahai pakaian-pakaian,
sakit bersamaku,
menua bersamaku, bersama tubuhku
lalu kita menyatu
lalu kita memasuki
bumi.
Karena itu,
setiap hari
aku menyapamu
dengan sedalamnya hormatku, lalu
engkau erat memelukku, aku melupakanmu,
karena kita sesungguhnya satu
dan kita akan senantiasa
menantang angin, menantang malam,
di jalanan, dalam pertarungan,
tubuh yang tunggal,
hari yang tunggal, satu hari nanti, ketika hanya ada sunyi.
(Diterjemah oleh: Hasan Aspahani )
***
  
ODE BAGI PEREMPUAN SEDANG BERKEBUN

Ya, aku tahu tanganmu adalah
rebung merecup, serumpun lili
berdaun perak:
ada yang harus engkau lakukan
dengan tanah itu,
dengan bumi yang berbunga,
tapi
ketika
kulihat engkau menggali, menggali,
mengeyahkan kerikil
dan menuntun arah akar-akar
aku tahu seketika itu,
perempuanku yang sedang berkebun,
bahwa
tidak hanya
tanganmu
tapi juga hatimu
telah menyentuh bumi,
karena di sana
engkau
menciptakan
benda-bendamu,
menyentuh
kelembaban
pintu
melalui jalan
di mana
benih-benih
menebar.

Maka pada jalan ini
dari satu tanaman
ke yang lain
satu tanaman yang
baru saja ditanam,
dengan wajahmu
dibekasi
ciuman
dari tanah liat,
engkau pergi
lalu datang lagi
memekarkan bunga,
engkau pergi
dari tanganmu
batang utama tajuk
astromeria
membangkitkan sosok sendirinya
yang anggun,
mawar mengharumkan
kabut di keningmu
dengan wangi dan bintang-bintang embun.

Segalanya tumbuh
darimu
menembus bumi
dan menjelma jadi
cahaya hijau,
daun dan kekuatan
engkau mengatakan
apa yang ingin disebutkan oleh
benih-benihmu padanya,
kekasihku,
perempuan merah yang sedang berkebun:
tanganmu yang berkerabat
dengan bumi
dan tumbuh cemerlang
adalah kesertamertaan

Cinta, pun demikian
adalah air tanganmu
bumi hatimu,
memberi
kesuburan
dan kekuatan pada laguku
kau sentuh
dadaku
sementara aku terlelap
dan pohon-pohon berbunga
dalam mimpiku.

Aku terbangun, membuka mata,
dan engkau telah ada
di sisiku
bintang-bintang dalam bayang
yang kelak datang dan terang
dalam laguku.

Begitulah, perempuan yang sedang berkebun:
cinta kita
membumi:
mulutmu adalah tanaman cahaya,
sebuah mahkota bunga, dan
hatiku menjaga di antara akar-akarnya.
( Dterjemahkan Oleh: Hasan Aspahani )
***
ODE BAGI BUKU

Ketika akhirnya sebuah buku kututup
aku membuka hidup.

Aku dengar juga
tangis yang ragu menghiba
di antara dermaga-dermaga
tiang-tiang tembaga
menggelincir turun ke lubang-lubang pasir
hingga ke Tocopilla.

Waktu telah malam
di antara pulau-pulau
samudera kita
berdebaran bersama ikan,
menyentuh kaki, menyentuh paha,
rusuk-rusuk rapuh
negeriku.

Seluruh malam
berpagut teguh sepanjang pasir, hingga fajar
bangkit menggugah nyanyi
seperti dia yang telah menggairahkan gitar.

Hempasan samudera mengelu-elu
 
Hembusan angin
menyeruku
dan Rodriguez memanggilku,
juga Jose Antonio –

Ada telegram tiba
dari negara — “Negaraku”
dan dari seorang yang kuberi cinta
(yang tak kan kusebutkan siapa)
mengharapkan aku kini ada di Bucalemu.

Tak ada sebuah buku yang mampu
membungkusku dalam kertas
mengisi sekujurku
dengan tipografi,
dengan jejak cetak teramat riang
atau bisa mengikat mataku,

Aku beranjak keluar dari buku ke taman buah manusia
dengan parau lagu, kerabat lagu-laguku,
yang mengolah baja-baja pijar
atau menyantap daging bakar
di sisi perapian, di rumah pegunungan.

Aku cinta buku yang
penuh petualangan,
buku tentang salju atau hutan-hutan,
ke dalam bumi atau langit tinggi,
tapi aku membenci
buku tentang laba-laba
yang menyangka
telah ditebarnya jaring berbisa
menjebak lalat yang baru saja
melingkar belajar mengepak sayapnya.

Buku, biarkan aku pergi menjauhimu.
 
Aku bukan hendak mengenakan baju
dalam jilid-jilid,
aku tidak hendak beranjak keluar
untuk memunguti karya-karyaku,
karena sajak-sajakku
tak menyantap sajak-sajak –
mereka melahap takjub peristiwa-peristiwa
mereka hidup dalam kasar cuaca
mereka menggali sendiri umbi
dari bumi dan hidup lelaki.
 
Aku kini ada di jalanku.
 
Dengan debu di sepatu berdebu
terbebas dari kurung mitos-mitos:
 
Maka kembalikan saja buku ke dalam buku,
dan aku akan turun saja ke jalanan.
 
Aku telah pelajari hidup
langsung dari hidup itu sendiri.
 
Cinta mengajariku cukup dari satu kecupan
dan tak mengajarkan apapun pada orang lain,
kecuali bahwa aku telah hidup
dengan yang lazim ada di antara para lelaki,
ketika bergelut, beradu otot,
ketika mengatakan semua ucap mereka dalam lagu-laguku
( Diterjemahkan Oleh: Hasan Aspahani )
***
KAKIMU

Jika tak bisa kutatap wajahmu
aku memandangi kakimu.
 
Kakimu, lengkung tulang,
kaki kecil yang tegar.
 
Aku tahu kaki itu yang mendukungmu,
dan berat tubuh indahmu,
bangkit dari kedua kakimu.

Pinggul dan dadamu,
noktah kembar merah
lembayung putingmu,
lekuk matamu
mengalir, mengalir,
bibirmu: ranum buah,
rambutmu: ikal merah,
menara kecilku.

Tapi aku cinta kakimu
kerana hanya langkahnya
melintasi bumi
menembus angin
melewati air,
hingga akhirnya:
mendapati aku.
***
PUEDO ESCRIBIR (Aku Boleh Menulis)

Mungkin dapat kutulis, “Malam berkeping-keping
dan bintang-bintang biru gemetar di kejauhan.”

Angin malam hari bergulung di angkasa dan bernyanyi

Malam ini kutulis syair kesedihan
 
Aku mencintainya, kadang-kadang ia mencintaiku juga

Bermalam-malam seperti malam ini kuikat dia dengan pelukan
 
Aku menciumnya berulang-ulang di bawah langit kekal
Ia mencintaiku, kadang-kadang aku mencintainya juga
 
Aneh sekali jika engkau enggan menaruh hati pada binar matanya

Malam ini kutulis syair kesedihan
 
Berfikir jika aku tak memilikinya. Andai aku kehilangan dirinya

Mendengar malam yang lengang, semakin sunyi tanpanya
 
Sajak-sajak berjatuhan ke dalam jiwa bagai embun di padang rumput

Mungkin cintaku tak mampu menahannya
 
Malam berkeping-keping dan ia tak bersamaku

Di kejauhan seseorang bernyanyi. Jauh sekali
 
Jiwaku pilu kehilangan dirinya

Pandanganku mencarinya seakan hendak mengejarnya
 
Hatiku mencarinya, dan ia tak bersamaku

Malam sama putihnya dengan pepohonan
 
Waktu itu, kita, telah sangat berubah

Aku tak lagi mencintainya, tentu, namun mengapa aku mencintainya
 
Suaraku mengejar angin yang menyentuh daun telinganya

Yang lain. Dia akan menjadi milik yang lain. Seperti kecupan-kecupanku sebelumnya
 
Suaranya. Tubuhnya yang bercahaya. Matanya yang kekal

Aku tak lagi mencintainya, tentu, namun mungkin aku mencintainya
 
Mencinta tak semudah melupakan

Sebab bemalam-malam seperti malam ini kuikat dia dalam pelukan
 
Jiwaku sedih kehilangan dia

Mungkin inilah akhir duka sebab ia telah membuatku nestapa
dan inilah syair terakhir yang kutulis untuknya



Pablo Neruda
TAWAMU

Ambil saja nafas ini dariku, jika kamu memohon,
ambil juga udara ini, tapi
jangann ambil dariku tawamu
jangan ambil mawar
Kembang tombak yang kau tusukkan lalu kau cerabut
hingga tiba-tiba air meluap-luap bahagia tanpa henti
gelombang tiban yang melahirkan perak dalam dirimu
perjuanganku sungguh kasar dan aku kembali
dengan mata lelah
Sejak mula melihat dunia yang tak berubah
tapi ketika tawamu lahir
tawa itu melontar ke angkasa dan segera mencariku
dan membuka seluruh pintu-pintu hidupku

Sayangku, dalam masa paling gelap
tawamu hadir, dan tiba-tiba
lihatlah darahku luntur mengotori batu-batu jalan
tertawa, karena tawamu digenggamanku
akan menjelma serupa pedang yang baru ditempa
di bahu laut musim gugur
Tawamu pasti menegakkan bebuih jeram
dan di musim semi, sayangku
Tawamu seperti bunga yang kutunggu-tunggu
bunga biru, mawar yang menggema di seantero penjuru

Tawa yang tersangkut di malam
pada hari, pada bulan, 
tawa yang berpantul-pantul di jalan-jalan di pulau ini 
tawa pada bocah ceroboh yang mencintaimu 
tawa berkelebat saat aku memejam dan membuka mata 
tawa ketika langkahku maju, ketika langkahku surut
mengingkari tarikan nafas, udara, sinar, semi, tapi
jangan pernah ambil tawamu
atau aku akan binasa
***

0 komentar:

Posting Komentar